Beranda | Artikel
Solusi Mengambil Anak Angkat
Sabtu, 25 Februari 2012

Perlu diketahui bahwa Islam menghapuskan kebiasaan mengangkat anak dan kemudian menjadikan statusnya sebagaimana anak kandung yang berlaku hak kemahraman dan warisan.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebelum diutus menjadi nabi pernah mengangkat anak yaitu sahabat Zaid bin Haritsah radhiallahu ‘anhu dan namanya berubah menjadi Zaid bin Muhammad . ketika menjadi nabi, namanya tetap Zaid bin Muhammad. Kemudian turunlah ayat yang menghapus kebolehan mengangkat anak dinasabkan kepada ayah angkatnya. Allah Ta’ala berfirman,

وَمَا جَعَلَ أَدْعِيَآءَكُمْ أَبْنَآءَكُمْ. ذَلِكُمْ قَوْلُكُمْ بِأَفْوَاهِكُمْ.

وَاللهُ يَقُوْلُ الْحَقُّ وَهُوَ يَهْدِي السَّبِيْلَ

“…Dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu menjadi anak kandungmu. Yang demikian itu hanyalah perkataanmu di mulut saja, sedangkan Allah mengatakan yang haq, dan Dia menunjuki kepada jalan yang benar.” [Al-Ahzab: 4]

Dan hadits,

عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ زَيْدَ بْنَ حَارِثَةَ مَوْلَى رَسُوْلُ اللهِ مَا كُنَّا نَدْعُوْهُ إِلاَّ زَيْدَ بْنَ مُحَمَّدٍ حَتَّى نَزَلَ الْقُرْآنُ ادْعُوْهُمْ لِآبَائِهِمْ

Dari Ibnu Umar bahwa Zaid bin Haritsah maula Rasulullah, (Ibnu Umar berkata), “Dulu kami tidak memanggil Zaid kecuali dengna panggilan Zaid bin Muhammad, sehingga turunlah ayat; (panggillah anak-anak angkatmu dengan (menasabkan kepada) nama bapak-bapak mereka, karena itulah yang lebih adil di sisi Allah.” [HR. Bukhari no. 4782, dan Muslim no.2425]

 

Bagaimana solusinya?

Sebenarnya yang menjadi masalah adalah anak tersebut jika sudah dewasa dan baligh bukanlah mahram bagi keluarga tersebut. Maka tidak boleh berduaan, bersentuhan dan berinteraksi bebas sebagaimana bapak dan anak perempuan atau ibu dan anak laki-laki. Maka dalam hal ini ada dua solusi.

1. Mengambil anak angkat dari keluarga yang masih ada hubungan keluarga dengan istri atau suami.

-misalnya ingin mengangkat anak perempuan, maka bisa mengambil anak dari saudara kandung suami. Sehingga status anak perempuan tersebut adalah mahram bagi suami karena suami adalah pamannya.

-jika ingin mengangkat anak laki-laki, maka bisa mengambil anak dari saudara kandung istri. Sehingga status istri adalah mahram bagi anak laki-laki tersebut karena istri adalah bibinya

 

2. Jika tidak ada anak dari keluarga yang bisa diangkat menjadi anak, maka bisa meminta keluarga misalnya saudara kandung wanita agar menyusukan anak angkat yang masih kecil. Sehingga menjadi mahram melalui jalur persusan.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

يَحْرُمُ مِنَ الرَّضَاعِ مَايَحْرُمُ مِنَ النَّسَبِ

Persusuan itu menyebabkan adanya hubungan mahram, sama seperti keturuanan.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Adapun syaratnya menurut pendapat terkuat,pes

1. Usia anak maksimal 2 tahun

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ رَضَاعَ إِلاَّ فِيْ حَوْلَيْنِ

Tidak ada persusuan (yang menjadikan mahram) kecuali pada umur dua tahun.” (HR. Baihaqi: 1544).

2. Minimal 5 kali persusuan dan patokannya sampai bayi kenyang dan melepas sendiri susuannya

Aisyah radhiallahu ‘anha berkata,

كَانَ فِيْمَا أُنْزِلَ مِنَ الْقُرْآنِ عَشْرُ رَضَعَاتٍ مَعْلُوْمَاتٍ يُحَرِّمْنَ ثُمَّ نُسِخْنَ بِخَمْسٍ مَعْلُوْمَاتٍ فَتُوُفِّيَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَاْلأَمْرُ عَلَى ذَلِكَ

 

Yang pernah diturunkan dalam Al-Quran adalah bahwa sepuluh kali persusuan menyebabkan adanya hubungan mahram, kemudian hal itu dihapus menjadi lima kali persusuan. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat dan keadaan masih seperti itu.” (HR. Muslim dan At-Tirmidzi dan kitab Jami’-nya, dan lafal hadits ini diambil dari beliau)

Faidah: jika suami atau istri terbukti mandul

 suami terbukti mandul, bolehkah istri meminta cerai?

Sebelumnya perlu diketahui bahwa istri dilarang meminta diceraikan tanpa alasan yang benar. Nabi shallallahu ‘alaiahi wa sallam bersabda,

أيُّما امرأةٍ سألت زوجَها طلاقاً فِي غَيِر مَا بَأْسٍ؛ فَحَرَامٌ عَلَيْهَا رَائِحَةُ الجَنَّةِ

“Wanita mana saja yang meminta kepada suaminya untuk dicerai tanpa kondisi mendesak [alasan yang benar] maka haram baginya bau surga.” [HR Abu Dawud no 1928, At-Thirmidzi dan Ibnu Majah, dan dishahihkan oleh Syaikh Albani]

 

Bagaimana dengan kasus diatas? Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya,

س: امرأة متزوجة لها لم ينجب, ثم تبين بعد الفصح أن العيب في زوحها و أن الإنجاب مستحبل بينهما, فها يحق لها أن تطلب الطلاق؟

Perntanyaan: jika seorang wanita yang sudah menikah dalam jangka waktu yang lama dan belum memdapatkan keturunan, kemudian setelah pemeriksaan [kesehatan] jelaslah bahwa suaminya mandul dan memperoleh keturunan adalah hal yang mustahil bagi mereka berdua, apakah wanita tersebut berhak meminta cerai?

 

Beliau menjawab,

الجواب: يحق للمرأة لها أن تطلب الطلاق من زوحها إذا تبين أن العقم منه وحده, فإن طلقها فذالك, و إن لم يطلقها فإن القاضى يفسخ نكاحها و ذالك لأن المرأة لها حق في الأولاد و كثير من النساء لا يتوزجن إلا من أجل الأولاد, فأذا كان الرجل الذي يزوجها عقيما فلها الحق أن تطلب الطلاق و فسخ النكاح, هذا هو القول الراجح عند أهل العلم

Istri tersebut berhak untuk minta cerai dari suaminya apabila nampak jelas bahwa kemandulan ada pada suaminya saja. Apabila suami mencerainya, maka itulah yang diinginkan. Namun apabila  suami tetap tidak mau menceraikannya, maka hakim membatalkan nikahnya. Yang demikian itu dikarenakan wanita berhak untuk mendapatkan anak dan mayoritas wanita tidaklah menikah kecuali dikarenakan ingin memiliki anak. Maka, apabila laki-laki yang menikahinya mandul, dia berhak minta cerai dan membatalkan pernikahannya. Inilah pendapat yang rajih (kuat) menurut para ulama. [Fatawa Al-Mar’ah hal. 347 Darul Ibnu Hasyim, Koiro, cet. Ke-1, 1423 H]

 

Akan tetapi yang perlu diperhatikan adalah setelah waktu yang lama. Hendaknya sang istri bersabar berusaha dan menanti serta tetap setia terhadap suaminya. Bagaimana perasaan suami, sudah tidak punya anak kemudian ditinggal oleh istri lagi dan cinta yang telah dipupuk selama ini kandas, apalagi mendengar mantan istrinya menikah lagi dengan pria lainnya.

 

Istri terbukti mandul, poligami jadi solusi

Sebagaimana juga kisah Sarah istri Nabi Ibrahim ‘alaihissalam yang tahu diri, tidak bisa memberikan keturunan  bagi suaminya. Maka ia memberikan budaknya sebagai hadiah kepada suaminya yaitu Hajar. Dan karena doa dan kebaikan kepada suaminya, akhirnya ia mendapatkan anak di usia yang sangat tua.

Al-Qurthubi rahimahullah berkata,

وكان بين البشارة والولادة سنة، وكانت سارة لم تلد قبل ذلك فولدت وهي بنت تسع وتسعين سنة، وإبراهيم يومئذ ابن مائة سنة

 

“Jarak antara kabar gembira dgn kelahiran Ishaq adlh setahun. Adapun sebelum itu Sarah tdk pernah melahirkan, kemudian ia melahirkan ketika berusia 99 tahun, sedang Ibrahim berusia 100 tahun” [Al-Jami’ Liahkamil Qur’an 17/47, Darul Kutub Al-‘Ilmiyah, Koiro, cet.ke-2, 1384 H, Asy-syamilah]

 

Disempurnakan di Lombok, Pulau seribu Masjid

2 Rabiul Akhir 1433 H bertepatan 25 Februari 2012

Penyusun: Raehanul Bahraen

Artikel www.muslimafiyah.com


Artikel asli: https://muslimafiyah.com/solusi-mengambil-anak-angkat.html